dutapublik.com, KARAWANG – Polemik terkait status tenaga honorer kembali mencuat di daerah. Sejumlah pegawai kontrak mengeluhkan ketidakjelasan mekanisme kontrak kerja yang setiap tahun diperpanjang melalui dinas, namun pada akhirnya tetap saja bergantung pada keputusan bupati sebagai penanggung jawab tertinggi.
Salah satu keluhan yang paling mencuat adalah tidak adanya uang penghargaan atau kadeudeuh bagi para tenaga honorer waker yang bekerja puluhan tahun dimana ketika kontrak mereka tidak diperpanjang. Padahal, menurut mereka, pejabat sekelas bupati dan anggota dewan ketika selesai menjabat justru masih bisa menerima dana “uang kadedeh”.
“Kalau bupati lima tahun dapat penghargaan, ini kami honorer tiap tahun bekerja dengan total masa pengabdian 30 tahun, tapi saat kontrak habis tidak ada penghargaan sama sekali. Dimana rasa keadilannya?” ungkap salah seorang tenaga honorer yang enggan disebutkan namanya.
Secara regulasi, proses pengangkatan dan perpanjangan kontrak memang dilakukan oleh dinas terkait. Namun, keputusan akhir kerap dikaitkan dengan konsultasi bersama Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), bahkan hingga ke bupati. Hal inilah yang menimbulkan kesan bahwa bupati memiliki tanggung jawab langsung terhadap nasib tenaga honorer.
“Kalau kontrak tidak diperpanjang otomatis selesai. Tapi kenapa tidak ada regulasi yang mengatur penghargaan untuk honorer yang sudah bertahun-tahun bekerja? Susah sekali menyisipkannya, sementara menang pejabat tinggi justru diakomodir karena ada aturannya,” ujar Kepala Dinas PUPR Karawang, Rusman beberapa waktu lalu.
Polemik ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keberpihakan pemerintah daerah terhadap para honorer. Mereka menilai keadilan sosial hanya berlaku untuk pejabat, sementara tenaga kontrak yang menjadi tulang punggung pelayanan publik justru terabaikan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak bupati dan BKPSDM belum memberikan keterangan resmi terkait polemik tersebut. (Uya)