Duta Publik

Tanggapi Pernyataan Firdaus “Pengacara Dukun” Raden Hamzaiya : “Jangan Memperlebar masalah hingga ke ranah budaya”

312

dutapublik.com, CIREBON – Perseteruan antara Pesulap Merah dengan Firdaus atau oknum para dukun kian memanas, terdengar kabar, Firdaus yang merupakan pengacara Dukun ingin melaporkan Rafi Ahmad dan beberapa orang lainnya, tentang penyebutan kata “Sultan”.

Penggiat budaya Cirebon, Raden Hamzaiya, menanggapinya dengan pernyataan tidak usah memperlebar persoalan tersebut hingga merambah ke ranah adat-tradisi budaya khususnya kesultanan.

kata “Sultan” sendiri, sambungnya, mengandung pemaknaan yang multi tafsir di mana secara singkatnya dia adalah pemangku adat budaya pada sebuah kerajaan berdasarkan nilai historis (sejarah) di masa lampau, dan jabatan ini sudah mulai berlaku sebelum Indonesia merdeka hingga saat ini keberadaan “sultan” dengan perkembangan zaman serta dinamika arus teknologi masih tetap ada.

Lalu, katanya, adapun dinamika perubahan makna Sultan sebagai sebuah sebutan trend ketika seseorang dianggap berada di garis perekonomian dengan nilai fantastis, bagi kami itu hanya sebuah pemaknaan saja. Kita tau kedudukan “Sultan” di masa lampau pun memiliki posisi yang sama, di mana para Sultan karena dianggap sebagai pemimpin sebuah kerajaan, pastinya memiliki nilai kekayaan fantastis.

Sejauh ini,  tandas Raden Hamzaiya, kami selaku pegiat sejarah tidak merasa dirugikan oleh pemaknaan Sultan yang sedang trend dikalangan selebritis seperti Rafi Ahmad, Atta Halilintar, mereka hanya menggunakan makna tafsir saja. ungkap Raden Hamzaiya.

“Bagi saya selaku pegiat Sejarah tidak ada yang mesti dipersoalkan selama mereka seperti Rafi Ahmad, Atta halilintar atau kalangan selebriti lainnya tidak berpenampilan layaknya Sultan pemangku budaya atau mengklaim rumahnya menjadi sebuah kerajaan atau keraton, bagi saya tidak ada yang mesti dipersoalkan, ” ungkapnya. 

Itu hanya pengembangan tafsir kata saja, perkembangan tafsir kata seperti itu kan sudah ada sejak dulu seperti gelar “Pangeran” yang sudah dipakai oleh para pendongeng untuk menamakan sebuah tokoh fiksi pada cerita anak-anak, jadi jangan ikuti arus dagelan perhatikan terlebih dahulu dari segi pemaknaan dan penafsiran katanya. Tutup Raden Hamzaiya. (Hans). 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!