dutapublik.com – BLORA Banjir latung (minyak mentah) akibat kebocoran pipa minyak mentah milik PT. Pertamina EP, Asset 4 Field Cepu pada jalur pipa SPU Nglobo menuju MGS Menggung, dengan titik lokasi kebocoran di depan SMP 1 Sambong.
Terkait hal itu, pada Senin (12/4) lalu, akhirnya mendapat perhatian serius dari banyak pihak, termasuk dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Blora dan para aktifis lingkungan.
Tim pemantauan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Blora yang dipimpin langsung oleh Plt. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Blora Drs. Sugiyono M.Si., mendatangi lokasi lahan tercemar minyak mentah akibat kebocoran pipa milik PT. Pertamina EP, pada, Rabu (14/4/2021) kemarin.
“Ya bersama-sama cek lokasi dari DLH Kabupaten Blora, BPBD Kabupaten Blora, pihak Kecamatan Sambong dan dari PT. Pertamina EP Asset 4 Field Cepu,” kata Sugiyono.
Dirinya menerangkan, bahwa pemantauan yang dilakukan dalam rangka identifikasi, diperkirakan areal yang terdampak kurang lebih seluas 2 hektar dan diperkirakan kebocoran minyak mentah sebanyak 5 barrel atau setara dengan 795 liter.
“Kami berharap penanganan kebocoran pipa minyak mentah ini bisa segera diselesaikan supaya tidak muncul dampak atau ekses lainnya di masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, para aktifis lingkungan yang tergabung dalam Duta Blora Indonesia yang memberikan pendampingan pada warga terdampak menemukan ada sekitar 7 orang warga yang menjadi korban pencemaran minyak mentah akibat kebocoran pipa milik PT. Pertamina EP Asset.
“Ya, dari hasil survey di lapangan kami kemarin menemukan setidaknya ada 7 orang warga sebagai korban, di antaranya adalah Ruhono (55) warga RT.04 RW.01, Ruhono (72) warga RT.02 RW.01, Suji (55), Djasmi (54), Sugiyarto (45), Sarimin (57) dan Mbah Parijo (87) warga RT.09 RW.01 Dukuh Sambong Impres Desa Sambong Kecamatan Sambongrejo Kabupaten Blora,” jelas Ketua Yayasan Duta Blora Eko Arifianto didampingi oleh rekannya Lilik Prayoga, pada Kamis (15/4).
Dirinya menjelaskan, bahwa dari ke tujuh orang korban, lahan yang terkena bocoran minyak ada yang berstatus hak milik dan ada pula yang status sewa bengkok Kamituwan.
“Iya, beberapa warga mempunyai status lahan garapan yang berbeda. Ada yang hak milik, ada juga yang menyewa. Tapi terlepas dari status lahan tersebut, hak-hak mereka harus diakomodir dan diperjuangkan semua,” tandasnya.
Eko menjelaskan, saat ini semua orang sedang menghadapi tantangan lingkungan hidup luar biasa. Pemanasan global, polusi, sampah, degradasi keragaman hayati, deforestasi, konflik agraria hingga alih fungsi lahan.
“Krisis lingkungan saat ini semakin parah. Satu persoalan, sebut saja sampah, belum terselesaikan ini malah ada pencemaran segini besar. Harus ada upaya yang sungguh-sungguh untuk perbaikan dan pemulihannya. Lingkungan yang manusia tinggali adalah manifestasi diri manusia itu sendiri,” bebernya.
Karena lahan yang terkena limbah beracun dan berbahaya adalah areal pertanian produktif, salah seorang warga terdampak menuntut bahwa di samping ganti untung oleh pihak Perusahaan kepada semua korban pencemaran, pemulihan tanah harus segera dilakukan.
“Kami menanami lahan dengan tanaman padi, jagung dan kacang. Dulu beberapa kali pencemaran sudah terjadi. Tidak ada pertanggungjawaban pemulihan lahan perusahaan. Kami melakukan pemulihan sendiri. Karena limbah minyak tersebut tidak hanya ikut terbawa aliran air, tapi juga meresap ke dalam tanah,” ujar Sarimin (57) warga RT.09/RW.01 Dukuh Sambong Impres dengan didampingi istri Partini (54) dan anaknya Heriyono (27).
Sarimin juga menceritakan bahwa produktitas pertanian akhirnya anjlok drastis paska terkena limbah minyak tersebut.
“Biasanya tanaman akan layu, terus menguning dan akhirnya mati bila tercemari minyak yang merupakan limbah beracun tersebut. Akhirnya saya berikan pupuk kandang dan juga kimia lebih untuk memulihkan kesuburannya,” terangnya.
Warga Sambong lainnya bernama Suji menerangkan bahwa dulu dirinya pernah mengalami kejadian serupa, di mana lahan pertaniannya juga tercemari luberan minyak Pertamina.
“Dulu ada ganti rugi sebesar Rp. 4 juta, tapi herannya tidak ada penanganan untuk pemulihan lahan. Untuk yang kasus kali ini lebih mengerikan dampaknya lebih luas,” tukasnya.
Hasil cek lokasi bersama DLH Blora dan pihak PT. Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, kebocoran pipa disebabkan karena pipa dalam kondisi korosif.
“Ya dulu pernah ada juga pencemaran seperti ini. Banjir latung. Termasuk sering. Ning yo piye, arep diperangi wong iseh bangsane dewe (Tapi ya gimana lagi, mau diperangi ya masih bangsanya sendiri),” pungkas Mbah Parijo (87) warga RT. 04/RW. 01 Sambong dalam bahasa Jawa.
Hampir semua korban bermata pencaharian petani, sehingga menggantungkan hidupnya dari pertanian yang digelutinya sehari-hari. (ysn)